Ada satu keinginan yang tidak berani aku lakukan, yaitu memeluk ayahku dari belakang terus aku katakan: “Ayah, aku sayang kamu”
Saat umurku sudah semakin dewasa, aku semakin menjauh dari orang-orang sekelilingku. Aku malu untuk memulai pembicaraan, atau memulai sesuatu yang bersifat istimewa. Pada ulang tahunku yang ke 25, aku dihadiahi sebuah kue besar berwarna coklat, manusia bumi menyebutnya kue tart atau blackforest. Saat itu, aku sangat malu, malu dalam bentuk yang positif yang orang-orang inggris mengatakannya sebagai blushing, sebuah episode yang jika dianimasikan adalah pipimu menjadi merah seperti buah strawberry.
Ayah adalah seorang yang sangat perhatian kepada keluarga ini. Walau terkadang, yang namanya manusia ada kalanya bisa jadi menyebalkan tetapi hal itu seperti setitik debu dibandingkan dengan semua hal yang telah dia lakukan untuk keluarga ini.
Walau samar, namun aku masih mengingat saat umurku beranjak remaja, entah mengapa aku memintanya kembali menggendongku di belakang punggungnya. Dulu sekali, saat aku masih begitu kecil aku suka digendongnya di belakang punggungnya. Kadang, aku suka digendong saat hendak tidur atau bangun tidur.
Aku juga masih mengingat. Ayah, saat aku hendak tidur waktu kecilku selalu menemani. Digenggamnya lengan kananku dengan lembut, sampai aku pulas tertidur seolah dia tidak akan pernah beranjak dari tempat tidurku. Sampai esok paginya aku tidak menemukan sosoknya, Ayah telah berpindah ke kamar Mamak.
---------------------------------------| Ayah |-----------------------------------
Kutulis ini dalam malam-malam yang entah berantah mengalir begitu saja namun rasa tetap mengemudi diantara belahan arus penuh riam suram, Aku sadar permainan waktu ini penuh dengan kemisterian, hampir saja jika sepersekian detik aku terlambat, mungkin aku sudah jadi abu, tinggal kepulan asap seperti pembakaran yang baru disiram.
Kumulai ini dalam keletihan yang menggantung begitu berat membebani setiap langkah yang kususun menuju apa yang selama ini kuyakini jika aku mencumbui misterinya mungkin aku sudah sampai, namun semuanya begitu nanar masih terlalu kabur untuk ku eja.
Cinta membalut luka lama hadir tanpa tanda mendekap ku dalam hampa yang tak mampu kutafsirkan, jelas ini bukan dramatisasi rasa tapi pengakuan hati yang selama ini kutahan dalam gejolak-gejolak yang semakin nakal, pertahanan ku porak poranda ingin sekali rasanya identitasi itu hadir kembali, seperti apa yang kulihat nyata didepan mataku mulai aku menindas diri membiarkan kecengengan ku melakonkan peran yang tidak seharusnya dipentaskan.
Kubiarkan ia menjalar kesuluruh organ tubuh ku sampai batas-batas yang jelas menjadi garis akhir dari sebuah perenungan, ia mulai menembus dan merusak perasaanku padahal aku dulu pernah berjanji tidak akan mengembalikan apa yang harusnya aku lupakan dan tinggalkan, ayah, lagi-lagi masa lalu menyentak dan meracuni setiap pori yang ada di tubuh sampai nafasku tersedak satu-satu, dadaku bergemuruh, menghitamkan pandanganku kearah rasio yang selama ini masih bisa kujadikan penunjuk arah, memang mendadak semuanya ku kembalikan pada tempat yang tidak tepat bukan saatnya, tapi jujur aku tidak bisa menahannya sekalipun sedetik untuk aku bisa berbenah dan menata diri menyiapkan akal dan pikiran dalam menandai itu bukan jalan yang harus ku genggam.
Aku gamang, imaji ku tumbuh subur dalam bentuk lain mengukur setiap ketahanan ku semakin gencar melawan aku semakin lunglai.
Hening sejenak, aku luka membuncahkan sedih, kerapuhanku mengakui bahwa ternyata aku belum siap
Disimpang jalan sebelum pulang adzan magrib berkumandang disudut gang kecil sebelah tempat tinggal ku mengalun dalam nada-nada kebesaran pencipta, berlomba-lomba dengan hiruk pikuk simpang lampu merah, ada penjaja makanan, teriakan pedagang rokok, semuanya padu dalam harmonisasi alam yang beringsut malam langkah kaki yang kupercepat karena waktu berbuka yang sudah tiba tidak bisa kuperintah aku terhenyak di senja yang menuai duka nanar melihat pertunjukkan didepan mata SEORANG AYAH MENYUAPI ANAKNYA.
Yah simponi ini yang begitu menguras perasaan kesedihan, kerinduan rekaman adegan yang menghantarku pulang kembali dalam suasana rumah 6 tahun yang lalu ketika itu ayah masih ada, masih terlalu pasti senyum dan tawanya tak terkikis sedikitpun tersimpan rapi di memori dalam dan luar tubuh ku, mengelus kepalaku ketika aku sakit karena seharian mandi hujan, mendekapku erat ketika aku kedinginan, menghantarku ke tempat yang selalu kuinginkan, tidak ada penolakan, begitu ketulusannya menjadikan sebentuk rasa aman.
Selang waktu yang panjang dalam rentang jalan yang suram, aku terseok-seok melangkah sendiri menuruni bukit-bukit tinggi yang telah menjadi takdir pendakian nasib yang begitu menempah kesiapan untuk melakoni setiap adegan kehidupan, kesimpulan-kesimpulan yang kumaknai satu persatu menghantarku pada masa kini yang masih runyam sampai kapanpun logika ku mengingatkan AYAH TAK AKAN PERNAH DATANG.
Tik..tik..tikk..tik.. berpadu detik waktu dan rintik hujan, malam ini aku begitu tersudut bayangan dan kerinduan sosok yang hilang kembali datang, seperti menghantui. Kata-kata ayah saat itu, saat aku masih mondok di pesantren Misbahul Ulum Lhokseumawe, tentang petuah cinta dan logika, hidup, sedih, luka memuat kata kunci ketegaran.
Nak, maknailah hidup dengan cara yang kauyakini, pengalaman selalu memberi pelajaran, disetiap kegagalan terdapat peta kesuksesan, dari setiap kejadian tersimpan hikmak yang bisa kau jadikan ajaran, dewasa dalam berfikir dan jangan biasakan mengeluh, keluarlah dari setiap masalah-masalah yang ada, tapi jangan lari hadapi dengan upaya yang bisa dilakukan dengan sungguh-sungguh niscaya pasti ada jalan keluar, selektiflah nak dalam memilih jalan hidup, yakini sepenuh hati jangan lupa Tuhan selalu mendengar jika kita taat menyampaikan perasaan kita, rajin sekolah dan beribadah ya nak.
Aku ingin sekali memeluk Ayah. Mengungkapkan seluruh perasaan hatiku kepadanya. Menangis di belakang punggungnya lalu berkata, aku sayang AYAH.
catatatan kecil ini kupersembahkan buat ayah, insyaAllah beberapa hari lagi aku pulang kerumah kami akan ziarah kemakam ayah, semoga rindu ini menjadi kekuatan yang terakhir, izinkan aku memanggil dengan sapaan ayah sebab aku begitu rindu.
AYAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH...........
AKU SANGAT RINDU,
IZINKAN AKU MENGEJA NAMAMU.